Review Film Ziarah
Film Ziarah berkisah tentang nenek berusia 95 tahun, Sri, yang ingin mencari makam sebenarnya sang suami, Prawiro, yang merupakan seorang pejuang negara. Sri begitu ingin bisa dimakamkan di sebelah makam Prawiro. Sri dan Prawiro terpisah kala agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1948.
Waktu bersama terakhir mereka adalah ketika Prawiro hendak pamit pergi berperang. Sekian lama Prawiro telah dikabarkan tewas di medan perang. Kuburan beliaupun dibuat di taman makam pahlawan bersama para pejuang kemerdekaan lainnya. Inilah misteri yang mengusik Sri di hari tuanya.
Berbekal info dari veteran yang mengenal Prawiro, Sri menyusuri lokasi demi lokasi untuk mencari makam sang suami. Sri menelusuri perkampungan, danau, dan jalanan yang jauh dari rumah. Sri selalu membawa sebuah keranjang bunga dalam perjalanan agar dapat ditaburkan di makam sebenarnya sang suami.
Dialognya dengan para warga membuka cerita sejarah hidup suami Sri sebagai seorang pejuang dan tentunya membuka cerita masyarakat lokal tentang bagaimana kemerdekaan bangsa sendiri diraih.
SRI TAK SENDIRI
Di usia tua, Sri tinggal dan dirawat oleh cucunya, Prapto. Kepergian Sri tanpa ijin membuat Prapto kalang kabut mencari sang nenek. Padahal Prapto saat itu sedang mempersiapkan pernikahannya.
Di sisi lain, kepergian Sri mencari makam sebenarnya suami membuatnya bertemu dengan orang-orang baik. Beberapa kali beliau ditolong dan diberi tempat menginap.
RUMITNYA MENELUSURI SEJARAH YANG DITUTURKAN
Bagi kita tentu mudah mengenal cerita kemerdekaan Indonesia dari buku teks yang telah ada, bukan? Buku teks tersebut memuat runtutan cerita bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari Belanda mulai dari organisasi Budi Utomo pada 1908 hingga agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1948.
Buku teks tersebut memuat pula foto-foto dan kadangkala disertai ucapan langsung tokoh kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan Sri? Dia adalah orang biasa yang tak memiliki akses ke sejarah keluarganya. Tak ada catatan tertulis. Semua berdasarkan cerita yang diingat.
Oleh karena itu perjalanannya mencari makam suami begitu memusingkan. Seperti inilah yang dialami pula oleh Prapto ketika hendak mencari Sri yang kabur begitu saja. Karena tak ada alamat dan cerita yang pasti, Prapto beberapa kali tersesat.
JAWA DAN KARAKTERISTIKNYA
Film ini unik. Bagaimana tidak, hampir seluruh film menggunakan bahasa Jawa. (santai ada terjemahan :). Tokohnya, Sri, selalu berbaju Jawa. Suasana dan gerak-gerik film berkisar pada kebiasaan orang Jawa. Tentunya, tempatnya juga di Jawa. Salah satu latar tempat yang diambil adalah Waduk Kedung Ombo, tempat Sri melempar bunga untuk sang suami.
SEDERHANA, ANTI ARUS UTAMA
Hadirnya film ini adalah alternatif bagi masyarakat yang ingin menonton film Indonesia tanpa tokoh populer. Bila tahun sebelumnya Uang Panai, film lokal Makassar, diterima baik, tahun ini giliran Ziarah. Sama sekali tak ada pemain yang merupakan aktor populer.
Tak ada Reza Rahardian tentunya. Ponco Sutiyem, pemeran utama, adalah seorang nenek yang ditemui oleh sutradara, BW Purba Negara dan dirasa cocok memerankan tokoh Sri. Dikutip dari tempo.co, Ponco Sutiyem sehari-hari berprofesi sebagai petani di Gunung Kidul.
Beliau buta huruf, tidak pernah tamat bersekolah, dan berperan sebagai Sri dengan mengikuti arahan sutradara (berarti tanpa membaca naskah). Akting Ponco Sutiyem yang natural inipun membuatnya dinominasikan sebagai Aktris Terbaik ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.
Hal lain, seperti yang dirilis laman id.bookmyshow.com, Ziarah hanya bermodal kamera ala kadarnya (handycam, kamera DSLR, dan kamera ponsel) dan dengan dana minim, sutradara pun bergegas mencari kerja sama dengan rumah produksi kecil lainnya, Goodworks, Hide Project films, Limaenam Films, dan Super 8mm Studio.
Gala pembukaan film juga dilakukan di Gunung Kidul, bukan di Jakarta. Kesan sederhana dan anti kemewahan dalam membuat film inilah yang membuat film terasa nyata dan membuat Ziarah didapuk sebagai Film Terbaik Pilihan Juri – ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.
Semua ini kembali dari inspirasi sutradara, BW Purba Negara ketika tragedi tsunami di Aceh. Dia mengamati langsung bagaimana banyak orang yang berdamai dengan masa lalunya ketika tragedi terjadi, Wihhh,
Rasanya puas sekali menonton film ini. Akting Ponco Sutiyem memang tak sehebat Christine Hakim. Meskipun demikian, kualitasnya terlihat sehingga dapat sedikit banyak memberi kesan seperti film dokumenter. Menarik di bagian akhir filmnya, yang membuat penonton terkejut. Kisah heroik yang harus pupus dengan realita. Film yang dibuat tanpa nama besar! 9 dari 10 untuk Ziarah.
CATATAN PENULIS
Kali ini Mbah Ponco yang membuatku jatuh cinta. Rilis cuplikan nenek 95 tahun berperan sebagai Sri ini awalnya menipu karena nampak seperti film dokumenter. Ternyata sebuah hanyalah film. Yang saya sukai tentang menonton kali ini adalah temanya- anti mainstream.
Film ini yang membuatku memahami bahwa film Indonesia itu luas. Film Indonesia bisa mengeksplor apa saja. Film Indonesia bukan sekedar hiburan.
Film Indonesia seperti inilah yang hadir sebagai salah satu dari khazanah film nasional. Jadi tertarik untuk menonton lebih banyak film-film negeri sendiri yang secara angka tak banyak ditonton namun selalu direviu di dunia maya.
Eh, tidak sedikit juga sih yang menonton film ini. Di hari perdananya justru film ini lumayan banyak yang nonton dibanding sewaktu saya menonton Labuan Hati.
Yang unik juga, karena diproduksi wonge dewe, bahasa Jawanya tidak seperti aktor/ aktris Jakarta yang pura-pura medhok supaya terdengar Jawa. Serba original lah. Kalau di restoran ayam promosi ayam original, film ini seharusnya bisa juga promosi sebagai film berbahasa Jawa yang original.
Yang saya sadar kali ini bahwa saya bukan lagi sekedar korban film- seperti dulu, menonton film asing karena ikut tren biar dibilang keren
Post a Comment for "Review Film Ziarah"